Catatan

Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan...

Senin, 06 Mei 2013

Ironi Bangsa Merdeka

Sejumlah ironi yang terjadi, memberi indikasi jangan buru-buru bangga kita telah merdeka.

Belum lama ini kita dihentak oleh berita seorang murid SMP Negeri 10 Bekasi mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Fifi Kusrini (14) nekad menggantung diri karena kemiski- nan yang mendera keluarganya. Ka- barnya Fifi malu menunggak uang rapor, uang gedung dan lain-lain. Tapi yang paling menyakitkan bagi Fifi dan memicu tekadnya untuk bunuh diri adalah ejekan teman-temannya: Fifi anak tukang bubur.
Fragmen Fifi Kusrini, hanyalah satu dari sekian banyak kasus bunuh diri yang belakangan banyak kita dengar. Fenomena yang sangat jelas mengindikasikan keputusasaan masyarakat menghadapi realitas hidup. Anwar Hassan, dosen sosiologi FISIP UI menyebut fenomena bunuh diri sebagai kondisi anomi di mana seseorang tak lagi memiliki pegangan dan harapan. Orang tak lagi percaya pada hukum dan manusia lain, sehingga ada perasaan terisolir dari masyarakat.
"Sebenarnya ini gejala yang khas pada negara-negara maju post industri, modernisasi membuat mereka stres. Tapi Indonesia punya warna berbeda. Meski anomi, tapi biasanya bunuh diri dipicu oleh masalah ekonomi. Kalau di masyarakat maju ekonominya sudah berlebihan, kita malah serba kekurangan. Bunuh diri adalah jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan," kata Hassan. Kondisi yang sungguh tak bisa dianggap biasa, oleh kita semua, dan terlebih lagi pemerintah yang bertanggung jawab memberikan penghidupan yang layak bagi warganya.
Potret kemiskinan memang kian akrab dengan kita. Mungkin Anda masih ingat kisah Supriono, seorang pemulung yang memapah mayat anaknya, Nur Khaerunisa (3), menapaki jalan-jalan Jakarta karena tak mampu membiayai penguburan si buah hati. Kisah bermula ketika anak bungsunya itu menderita muntaber, tapi Supriono tak memiliki biaya untuk berobat. Karena berobat di puskesmas berarti ia harus membayar Rp 4000,00. Uang sejumlah itu sangat besar artinya untuk Supriono, karena sebagai pemulung penghasilannya setiap hari hanya Rp 10.000,00, hanya cukup untuk makan dia dan dua anaknya, Nisa dan Nuriski Saleh. Walhasil Supriono hanya sekali memebawa Nisa ke puskesmas.
Nisa hanya bisa meringkuk tak berdaya dalam gerobak ayahnya, berbaur dengan botol plastik bekas dan kardus. Akhirnya setelah empat hari dalam kondisi seperti itu, Tuhan memanggil Nisa ke haribaanNya.
Masalah belum berakhir. Supriono hanya memiliki uang Rp 10.000,00, yang tentu saja tak cukup untuk membeli kafan apalagi menguburkan anaknya.Ia pun memutuskan menguburkan anaknya di sebuah Desa Bogor.
Ia yakin warga desa itu akan membantunya menangani dan menguburkan jenazah anaknya. Namun sejumlah orang curiga mayat yang digendongnya adalah buah pembunuhan. Ia pun dibawa ke pos polisi. Polisi memerintahkan agar anaknya dibawa ke RSCM untuk diotopsi. Berjam-jam Supriono hanya bisa menunggui jenazah anaknya, sampai kemudian dia diizinkan membawa jenazah itu.

Tergesernya Nilai-nilai
Ironis. Peristiwa itu justru terjadi di tengah kehidupan masyarakat kota yang hedonis dan gemerlap. Di ibukota negara, di sebuah tempat yang hanya berjarak dua-tiga kilometer dari pusat kekuasaan, di mana konon presiden, wakil presiden, dan para pejabat sangat serius membicarakan nasib rakyat.
Kesimpulannya amat mudah untuk ditarik. Terlihat jelas betapa kini kesenjangan antara si kaya dan miskin sangat tajam. Kesenjangan dipicu oleh masalah ekonomi, dan kebijakan-kebijakan para penentu kebijakan yang tidak berpihak pada kelompok miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar